Dinamika UU ITE di Indonesia : Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum

 

Ilustrasi UU ITE
(Sumber : www.kiloejournalist.com)


        Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi informasi sangat cepat berkembang hingga tak terkendali.  Keberadaan smartphone dan pertumbuhan internet memiliki pengaruh besar dalam permasalahan ini. Berbagai kemudahan akses informasi ditawarkan dalam internet dapat langsung didapat oleh para pengguna. Hanya dengan satu kali scroll saja, puluhan berita dengan bahasan apapun langsung tersedia. Hal ini tentu akan mendatangkan masalah seperti penyalahgunaan teknologi informasi itu sendiri. Apalagi yang menjadi kekhawatiran adalah terlalu bebasnya setiap orang dalam membuat, menyunting, menyimpan, dan menyebarkan informasi. Dengan adanya perubahan secara ekstrim dalam kehidupan masyarakat, pemerintah menetapkan regulasi terkait isu teknologi informasi yang tengah berkembang ini dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga perubahannya yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sendiri merupakan undang-undang yang mengatur tentang informasi elektronik dan transaksi elektronik. Informasi elektronik yang dimaksud di sini adalah sebuah atau sekumpulan data elektronik berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail/e-mail), telegram, teleks, telecopy, dan sebagainya. Selain itu, informasi elektronik juga dapat berupa huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

            Secara keseluruhan, UU ITE memang sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan masyarakat terutama dalam bidang teknologi informasi. Tetapi dalam pengaplikasiannya, beberapa pasal dalam UU ITE dianggap bersifat tidak tegas (pasal karet) dan multitafsir. Bahkan, UU ITE kerap kali disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk meminadakan ucapan atau tindakan orang lain di internet. Pasal-pasal bermasalah tersebut antara lain : pasal 27 ayat 1 yang memuat konten tentang melanggar kesusilaan, pasal 17 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, pasal 28 ayat 2 tentang menyiarkan kebencian, dan pasal 29 tentang ancaman kekerasan.

Dari catatan SAFEnet, 271 laporan kasus UU ITE pernah terjadi di Indonesia. Kasus-kasus ini sudah muncul sejak tahun 2008 saat UU ITE pertama kali ditetapkan. Peningkatan kasus terlihat pada 2016 pasca adanya perubahan terhadap UU ITE. Pada tahun itu, ada 83 kasus ITE yang dilaporkan orang-orang. Kebanyakan kasus terlihat sebagai upaya negara dalam mengekang hal-hal terkait hak berpendapat warga. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pelapor UU ITE yang justru berasal dari kalangan pejabat negara. Pelaporan pejabat negara kepada terlapor awam berbasis ujaran ekspresi dan kritik atas kinerja atau posisi pejabat tersebut. Namun, kasus cenderung diarahkan kepada materi bermuatan ujaran kebencian. Bukannya melindungi, pasal karet kerap dipakai sebagai alat membungkam masyarakat sendiri.

Data SAFEnet terkait Pelaporan UU ITE
(Sumber : pinterpolitik.com, dengan suntingan)

Salah satu penggunaan pasal UU ITE yang kurang tepat terjadi di tahun 2019. UU ITE menjadi alat untuk memidakanakan jurnalis dan aktivis HAM Dandhy Laksono, yang ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan ujaran kebencian. Ia diperkarakan karena menyebarkan "kebencian" lewat cuitan tentang Papua via akun Twitter-nya. Dandhy dianggap telah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Ia juga dianggap melakukan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia. Padahal, cuitan Dandhy tidak memenuhi unsur penghinaan dan hanyalah bagian dari kebebasan berekspresi dengan menyampaikan pendapat atas suatu hal yang terjadi di Papua.

Salah satu tweet Dandhy Laksono yang dilaporkan 
(Sumber : tribunnews.com)


            Kemunculan UU ITE seharusnya digunakan untuk melindungi kepentingan masyarakat dalam kegiatan informasi dan transakasi elektronik. Hal ini sejalan dengan pendapat Roscoe Pound terkait dengan kegunaan hukum. Ia berpendapat bahwa hukum diselenggarakan untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan. Pound lebih cenderung melihat kepentingan dalam kehidupan hukum. Ia juga mengatakan bahwa hukum diperlukan karena adanya berbagai kepentingan dalam setiap bidang kehidupan. Oleh karena itu, keberadaan sanksi tidak menjadi fokus utama Pound saat berbicara hukum. Ia lebih melihat hukum bertujuan untuk menciptakan efektivitas dalam membuat peraturan perundang-undangan dan memberi tekanan kepada masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.

            Sejatinya, UU ITE merupakan terobosan yang tepat dalam mengatur perkembangan teknologi informasi di kehidupan masyarakat. Apabila permasalahan ini tidak secepatnya diregulasi, maka aktivitas elektronik akan selalu menemui masalah. Tetapi, keberadaan UU ITE masih memiliki celah yang dapat disalahgunakan. Fenomena pelaporan seputar ujaran kebencian hingga pencemaran nama baik seharusnya bukan menjadi tujuan UU ITE diundangkan. Apalagi jika UU ITE malah dijadikan alat untuk mengalahkan lawan politik. Oleh karena itu, para legislator sudah seharusnya meninjau ulang dan merevisi penggunaan UU ITE.


Referensi :

Atmaja, A. E. (2014). Kedaulatan Negara Di Ruang Maya: Kritik UU ITE Dalam Pemikiran Satipto Rahardjo.

Banjir Kasus Pasal Karet UU ITE Sepanjang 2019 - Tirto.id

Bagaimana Jurnalis Dandhy Laksono Dikriminalisasi soal Kasus Papua? - Tirto.id

Fithriatus, S. (2017). Sosiologi Hukum.

Naskah UU ITE



Komentar

Postingan Populer